Resensi Novel Negri 5 Menara
Judul Buku : Negeri 5 Menara
Pengarang : A. Fuadi
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2009
Tebal : xiii + 416 halaman
Alif
Fikri yang berasal dari Maninjau, Bukittinggi, adalah seorang anak desa yang
sangat pintar. Ia dan teman baiknya, Randai, memiliki mimpi yang sama,
yaitu masuk
ke SMA dan melanjutkan studi di ITB, universitas bergengsi itu. Sejak
kecil Alif ingin menjadi
''Habibie''. Baginya, Habibie tidak dalam arti seorang teknokrat genius, tapi
sebuah profesi sendiri lantaran dia sangat kagum pada tokoh itu. Itu
sebabnya, Alif ingin masuk SMA dan kelak melanjutkan pendidikan di ITB,
sebagaimana riwayat perjalanan intelektual Habibie. Namun Ibunda Alif menghapus
mimpinya masuk SMA. “Amak berharap Waang menjadi
pemimpin agama yang mampu membina umatnya,” kata Amak yang membuat harapan
anaknya masuk SMA pupus. Dengan setengah
hati, Alif mengikuti perintah Ibundanya,
yaitu belajar di pondok.
Dengan
diantar oleh ayahnya, selama tiga hari tiga malam mereka menaiki bus melintasi
punggung
menunggu
maghrib sambil menatap awan lembayung yang berarak pulang ke ufuk. Disana pula, mereka membangun
mimpi-mimpi masa depan dengan mantra ampuh yang sama-sama mereka percayai, “man
jadda wajada”. Di mata belia mereka, awan-awan itu menjelma menjadi
negara dan benua impian mereka masing-masing. Kemana impian jiwa muda ini
membawa mereka? Mereka tidak tahu. Yang mereka tahu adalah jangan pernah
remehkan impian, walau setinggi apa pun, karena Tuhan sungguh
Maha Mendengar.
Siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses.
Novel
yang berjudul “Negeri 5 Menara” karya A. Fuadi ini menceritakan berbagai kisah
sederhana kehidupan di Pondok Madani,
pesantren modern yang akhirnya menampung
Alif di dalamnya. Suka, duka, persahabatan, dan pengajaran-pengajaran Pondok
Madani yang
sederhana mampu membawa pembaca terhanyut dalam kisah
tersebut.
Dalam
pembukaan novel ini, pembaca dapat berharap banyak dan berimajinasi
akan jadi apa Alif ini. Pemimpin negara? Atau pemimpin besar agama? Sayangnya
sampai akhir, penulis kurang mampu memperlihatkan dinamika dalam cerita.
Klimaks cerita kurang menonjol sehingga pembaca merasa dinamika cerita
sedikit datar. Setelah selesai membaca, pembaca akan merasa cerita belum
selesai setuntas-tuntasnya. Hal ini mungkin disebabkan karena penulis
mendasarkan ceritanya pada kisah nyata dan dikarenakan novel ini merupakan
buku pertama dari sebuah trilogi. Mungkin akan
lebih baik jika penulis membuat konflik-konflik yang lebih tegang atau
menuliskan akhir yang lebih memukau pembaca.
|
|
Sumatera
dan Jawa menuju sebuah desa di pelosok Jawa Timur untuk mencapai Pondok
Madani, tempat diamana ia akan menuntut ilmu. Pondok
Madani
berbeda dengan sekolah agama lainnya karena di sini para murid dilatih untuk
menjadi intelektual dan mampu menganalisa berbagai ilmu dari sudut pandang
Islam. Sehari-harinya mereka wajib menggunakan bahasa Arab dan bahasa
Inggris. Jika melanggar, tidak mungkin bagi mereka tidak
terlepas dari hukuman. Pondok ini
sangat ketat dengan pengawasan dan kedisiplinannya. Di kelas hari pertamanya di Pondok Madani, Alif
terkesima dengan “mantera” sakti man jadda wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh
pasti sukses.
Dipersatukan oleh hukuman jewer berantai, Alif
berteman dekat dengan Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari
Sumenep, Atang dari Bandung dan Baso dari Gowa. Di bawah menara masjid
yang menjulang, mereka berenam kerap
Gaya
bahasa yang digunakan dalam novel ini sangat menarik. Ringan, deskriptif, dan
mengalir serta mampu memperkaya kosakata dan wawasan berbagai macam bahasa
daerah. Di dalam novel ini terdapat bahasa daerah Maninjau, Medan, Sunda, dan
Arab. Tidak tertinggal catatan di bagian bawah yang
menjelaskan arti dari kata tersebut. Ungkapan-ungkapan dan peribahasa juga
terdapat dalam penulisannya, seperti “man jadda wajada” yang paling
sering dicantumkan. “Siapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil.” Ungkapan-ungkapan
seperti ini sangat penting dalam sebuah novel karena mampu
membuat
novel ini lebih terkenang di hati pembaca.
Satu
lagi kelebihan novel ini. Pembaca tidak akan bosan membaca kehidupan di
pondok karena penulis menggunakan alur campuran. Ia
memulai cerita dengan mengambil setting Alif yang sudah bekerja lalu mulai
masuk ke dalam ingatan-ingatan Alif akan kehidupannya dulu di Pondok Madani.
Setelah cukup panjang menceritakan tentang pondok, ia mulai beralih lagi ke
kehidupan Alif masa sekarang.
Novel
ini dapat menjadi satu pengharapan bagi Indonesia, setidaknya masih ada
pemuda di luar sana yang rela memberikan dirinya dipakai masa depan. Bukan
menempatkan masa depan di tangan sendiri untuk ia tentukan. Merupakan satu
penghiburan bahwa masih ada orang-orang yang sungguh-sungguh rela belajar dan
mengasah diri untuk dapat memberikan sumbangsih pada dunia, terutama pada
tanah airnya sendiri.
|
Komentar
Posting Komentar